
Rekan-rekan yang baik!
Kebanyakan para ahli tafsir beranggapan bahwa kisah perempuan yang berzinah
dalam Yoh 8:1-11 yang dibacakan pada hari Minggu Prapaskah V/C pada awalnya
tidak termasuk Injil Yohanes meskipun mereka setuju asalnya dari tradisi
mengenai kehidupan Yesus juga. Kisah ini tidak termuat di dalam
naskah-naskah tertua Injil Yohanes dalam bahasa Yunani. Juga dari segi gaya
bahasa ada perbedaan. Misalnya, Yohanes biasa menyebut "orang banyak" dengan
kata Yunani "okhlos", bukan "laos" seperti di sini. Kata untuk "pagi-pagi"
biasanya "prooi", tapi di sini dipakai "orthrou". Nama "Bukit Zaitun" tidak
dijumpai dalam Injil Yohanes kecuali di sini. Juga ahli Taurat tidak disebut
musuh Yesus selain di sini.
Baru pada abad ke-4 kisah perempuan berzinah itu mulai didapati di dalam
naskah-naskah Kitab Suci Yunani. Tetapi kisah itu agaknya sudah dikenal
sebelumnya di kalangan Gereja Latin di Barat dan termasuk bahan bacaan
selama liturgi. Oleh karenanya tidak mengherankan bila menjadi bagian Injil.
Biasanya tempatnya di antara Yoh 7:52 dan 8:12, boleh jadi untuk menyiapkan
pembaca agar mengerti kata-kata Yesus nanti dalam Yoh 8:15 "Kamu menghakimi
menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorang pun." Tapi ada pula
beberapa naskah yang menaruhnya sebagai tambahan di bagian belakang Injil
Yohanes. Karena teks ini telah lama diterima sebagai bagian dari Injil
Yohanes dalam liturgi, wajarlah bila kita mendalaminya seperti bagian Injil
juga.
BUKIT ZAITUN, BAIT ALLAH, DAN PENYALIBAN
Peristiwa yang sedang dibicarakan ini terjadi di dalam minggu terakhir
kehidupan Yesus. Selama waktu itu dari pagi hingga sore ia berada di
Yerusalem tetapi malam hari dilewatkannya di Bukit Zaitun, di sebelah timur
kota, bersama murid-muridnya. Seperti disebutkan dalam Mrk 11:11, setelah
meninjau Bait Allah, Yesus bersama dua belas muridnya ke Betania pada sore
hari, yaitu sebuah perkampungan di sisi timur Bukit Zaitun. (Bukan Betania
di seberang sungai Yordan yang disebut dalam Yoh 1:28.)
Latar di atas membuat peristiwa yang dibacakan hari ini berhubungan erat
dengan penyaliban dan kebangkitan Yesus. Dia yang tidak menjatuhkan hukuman
kepada pendosa yang dihadapkan kepadanya itu sama dengan dia yang nanti
wafat di kayu salib menanggung dosa-dosa orang lain dan kemudian bangkit -
tidak lagi tertindih dosa dan hukuman. Yang bersedia menerima warta ini
bakal ikut mendapat kekuatan untuk tidak membiarkan diri terus ditindih dosa
dan hukuman, dengan kata lain, untuk sungguh bertobat.
Peristiwa yang dibacakan hari ini terjadi di dalam Bait Allah, pusat
kekayaan spiritual. Ke sanalah orang-orang berkiblat, di situlah orang
bertanya, di tempat inilah diberikan jawaban dari Tuhan. Dan jawaban ini
berujud manusia yang dapat dikenali, dapat diajak berdialog, dapat
dibayang-bayangkan. Tetapi juga bisa dijauhi, dimusuhi, dan dibunuh.
Kehadiran Tuhan seperti ini membuat orang perlu berpikir lebih dalam.
MENULIS DI TANAH?
Dalam ayat 6 dipakai kata Yunani "kategraphen" yang artinya "ia mencatat",
bukan sekedar menulis, yang memang muncul dalam ayat 8 sebagai "egraphen".
Dalam kedua ayat itu ada keterangan "di tanah", artinya, bisa dilihat siapa
saja, tidak ditutup-tutupi. Pertanyaan kita, apakah Yesus betul-betul
mencatat dan menulis sesuatu? Dan apa itu? Tidak dilaporkan apa yang ditulis
Yesus di tanah. Ada yang menafsirkan bahwa dalam ayat 6 dan 8 ia menuliskan
kata-kata yang nanti diucapkannya dalam ayat 7, yaitu "Siapa saja di antara
kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu." Ada pelbagai upaya tafsir. Ada yang merujuk pada tatacara
Romawi yang mewajibkan ketua pengadilan menulis terlebih dahulu keputusan
yang bakal diucapkannya. Bila begitu maka kata-kata dalam ayat 7 itulah
keputusan yang dimintakan para ahli Taurat dan orang Farisi. Walaupun tidak
lebih dari sekadar dugaan belaka, penjelasan ini menarik.
Kedua katakerja Yunani dalam ayat 6 tadi ada dalam bentuk yang biasanya
dipakai membicarakan kejadian yang sedang berlangsung di masa lampau.
(Istilah tatabahasa Yunani ialah bentuk imperfekt). Tapi bentuk ini juga tak
jarang menandakan tindakan yang tidak utuh terjadi, bahkan sering digunakan
untuk membicarakan perbuatan yang hanya diniatkan belaka. Dalam pemakaian
seperti itu maka ayat 6 sebetulnya mengatakan "(Yesus membungkuk,) siap
mencatat di tanah" dan ayat 8 "(Lalu ia membungkuk lagi) mau menulis". Jadi
ia belum mencatat atau menulis apapun. Dalam tatabahasa Yunani bentuk ini
dinamai "imperfekt konatif" ("imperfekt coba-coba"). Contoh lain, Luk 5:6,
ketika tangkapan ikan banyak, "jala mereka hampir koyak (dierreesseto)".
Jala tidak koyak betul-betul sehingga ikan-ikannya tidak lepas kembali!
Menurut Yoh 21:11 jala memang tidak koyak. Mrk 15:23, sebelum menyalibkan
Yesus, disebutkan "mereka bermaksud memberinya (edidoun) anggur yang
dicampur mur, tetapi Yesus menolaknya." Anggur tidak benar-benar diberikan,
karena jelas dikatakan di situ Yesus menolaknya. Ada banyak lagi contoh
imperfekt konatif seperti itu.
Secara ringkas, tidak bisa dikatakan bahwa Yesus benar-benar mencatat atau
menulis sesuatu. Juga tidak bisa dikatakan Yesus tidak menggubris para ahli
Taurat dan orang Farisi yang datang kepadanya. Sebaliknya, pencerita malahan
menyarankan bahwa Yesus siap mencatat dan menulis bila memang ada yang patut
dituliskan saat itu. Penjelasan ini ada hubungannya dengan perubahan postur
tubuh Yesus. Dari duduk mengajar, Yesus membungkuk mencatat dan menulis. Apa
artinya? Dengan perubahan postur tubuh itu ia hendak menunjukkan bahwa ia
mau mencatat dan menuliskan kebijaksanaan para ahli Kitab dan orang Farisi
bila mereka memang memiliki sesuatu yang dapat diajarkan. Tapi para ahli
Taurat dan orang Farisi itu tidak berani menerima peralihan peran itu.
Bahkan mereka "terus menerus bertanya kepadanya" (ayat 7).
Pada saat itulah Yesus bangkit berdiri lalu berkata, "Siapa saja di antara
kamu tidak berdosa hendaklah ia yang pertama yang melemparkan batu kepada
perempuan ini" (ayat 7). Segera sesudah berkata demikian ia membungkuk lagi
dan siap menulis di tanah, supaya bisa dilihat semua yang hadir. Sekali lagi
ia meminta mereka mengajarkan apa yang bisa ia tuliskan, ia siap untuk itu.
Apa yang terjadi? Satu per satu mereka pergi meninggalkan tempat itu, mulai
dari yang paling senior. Yesus tidak menyaingi para ahli Taurat dan orang
Farisi atau mengecilkan peran mereka. Ia justru minta mereka menunjukkan apa
mereka dapat mengajarkan sesuatu yang patut dicatat dan ditulis bagi orang
banyak. Ternyata tak ada seorang pun yang tampil. Mengapa? Di hadapan orang
yang tulus hati ini, suara hati ahli Taurat dan orang Farisi itu sendiri
tidak mengizinkan mereka mengajarkan hukuman atau tindakan keras yang
mempersyaratkan kebersihan diri sendiri dulu.
MENGAJAK KEDUA BELAH PIHAK BERGANTI HALUAN
Dalam cerita ini dua kali Yesus berbicara mengenai "dosa". Yang pertama
kepada para ahli Taurat dan orang Farisi (ayat 7), yang kedua kalinya kepada
perempuan yang dihadapkan kepadanya (ayat 11). Dua kali pula Yesus "bangkit
berdiri" dan mulai menyapa masing-masing pihak (ayat 7 dan 10). Begitulah
cara pencerita menunjukkan Yesus memberi perlakuan yang sama baik kepada
perempuan tadi maupun kepada para ahli Taurat dan orang Farisi. Ironis, kaum
terpandang itu sebetulnya tidak lebih baik dari pada orang yang mereka
anggap pendosa yang patut dihukum mati. Pernyataan Yesus bahwa siapa yang
tak berdosa hendaknya melempar batu pertama mengikis habis perbedaan yang
boleh jadi disembunyi-sembunyikan. Di hadapan utusan Tuhan yang sedang
menampilkan kewibawaannya mengajar di Bait Allah ini semua orang sama, sama
berdosanya. Pengadilan dengan pikiran manusia saja tidak mencukupi. Semua
orang membutuhkan kerahiman Tuhan.
Yesus meminta kepada para penuduh agar melihat apakah mereka sendiri tanpa
dosa. Mereka perlu memeriksa diri, menengok ke belakang. Kepada perempuan
itu Yesus mengatakan "mulai sekarang" jangan lagi berdosa. Ada pandangan ke
masa depan. Pembaca yang menyelami kisah ini akan melihat bahwa baik para
ahli Taurat dan orang Farisi maupun perempuan itu sama-sama diajak
melepaskan jalan hidup mereka yang lama, yang menindih diri mereka sendiri,
agar dapat menempuh arah baru.
Pengalaman perempuan itu membawanya ke jalan baru yang dijanjikan Tuhan
dalam nubuat yang diucapkan di dalam bacaan pertama Yes 43:16-21. Setelah
membebaskan umatNya dari pembuangan di Babel, Tuhan memperkenalkan diri
sebagai Dia yang pernah menuntun keluar umatNya (keluar dari Mesir) lewat
laut dan menghancurkan pengejar-pengejar mereka (ayat 16-17). Ditegaskan
agar mereka kini tak usah lagi mengungkit-ungkit perkara lama (ayat 18)
tetapi hendaknya melihat hal baru yang dibuat Tuhan, yakni jalan di padang
gurun (ayat 19) di situ ia membuat air memancar di padang gurun untuk
memberi minum umat pilihanNya (ayat 20). Mereka akan memberitakan
kemasyhuranNya bersama-sama dengan ciptaan lain yang ikut menerima
kebaikannya (ayat 21). Dalam bacaan kedua (Fil 3:8-14) Paulus bersaksi,
setelah menemukan Kristus Kebenaran Sejati itu, ia menganggap semua hal lain
tidak banyak artinya lagi. Ia merasa telah ditangkap oleh kebenaran itu. Ia
juga telah melupakan yang ada di belakang dan sekarang mau berlomba-lomba
mendekat ke hadirat Yang Ilahi. Perempuan tadi pergi dan berganti cara
hidup, para penuduhnya juga satu demi satu meninggalkan pandangan mereka
sendiri, Paulus juga melepaskan dirinya yang lama. Mereka semua ini telah
bertemu dengan Dia yang menerangi relung-relung gelap dan meluruskan hati.
Inilah peristiwa menggembirakan yang boleh diharapkan dalam menyongsong
Minggu Suci sepekan lagi.
_____
Tambahan mengenai Yoh 8:1-11:
TANYA: Bagaimana sih kok pendosa zinah dilepas begitu saja dan habis
perkara? Apa tidak aneh?
JAWAB: Memang akan kurang masuk akal bila petikan itu dibaca sebagai
peristiwa pengadilan. Tetapi peristiwa yang dikisahkan bukan pengadilan
.(Tidak seperti pengadilan Yesus di hadapan Mahkamah Agama nanti yang memang
pengadilan). Penghakiman tidak dijalankan di Bait Allah. Yang dilakukan di
situ ialah ibadat, perlindungan, dan pengajaran dalam ujud dialog atau
simposium atau seminar para ahli agama. Nah dalam suatu seminar seperti itu
tampillah guru-guru ternama seperti Yesus, ahli Taurat & orang Farisi, dan
perempuan pezinah yang mereka datangkan sebagai narasumber otentik bagi
studi kasus mereka. Dalam kesempatan ini ada juga banyak pengikut dan murid
yang dalam Yoh 8:2 disebut "orang banyak/rakyat". Mereka belajar dari
kepintaran guru-guru tadi. Karena situasi ini bukan situasi pengadilan dan
bukan tindak lanjut penggerebekan tempat zina, tidak ada risiko bahwa
perempuan itu akan betul-betul dilempari batu menurut hukum rajam seperti
termaktub dalam Ul 22:21-24. Namun demikian, seminar itu bukan sekadar
anggar kata mengenai perzinahan dengan tiga profesor kondang yang bila
selesai ya bubar, lalu orang ambil piagam untuk dapatkan kredit guna
kenaikan pangkat. Peristiwa itu langsung berdampak pada sikap hidup
masing-masing peserta. Yesus berhasil menghadapkan ahli Taurat dan orang
Farisi ke suara batin mereka sendiri seperti dijelaskan dalam ulasan di
atas. Dan ini terjadi di Bait Allah, bukan di ruang pengadilan. Hal ini
penting disadari penafsir. Dalam pengadilan yang sungguh, juga di kalangan
orang Yahudi dulu, perasaan hakim, penuduh, pembela tidak bisa berperan
langsung. Para anggota Sanhedrin yang mendakwa Yesus menghujat memang tidak
bisa lain kecuali mendakwa menurut hukum mereka. Jadi peristiwa kali ini
bukan kisah pengadilan pezinah melainkan kisah penjernihan suara hati
manusia dalam rangka menyiapkan diri memahami peristiwa paskah Yesus nanti.
Maka hal yang disebut dalam ayat 2 bahwa peristiwa ini terjadi di Bait Allah
dan dalam rangka pengajaran amat penting bagi penafsiran warta petikan ini.
TANYA: Apa "melempari dengan batu" (Yoh 8:5 dan 7) itu sama dengan praktek
"hukum rajam"?
JAWAB: Ancaman dirajam sampai mati termaktub dalam Taurat, juga dalam kasus
perzinahan, lihat Ul 22:21-24, bandingkan Yehezkiel 16:40 23:47. Beberapa
tindak pidana lain juga dikenai sanksi rajam sampai mati: menyembah berhala:
Ul 13:10 17:5; menghujat Tuhan Im 24:14 bdk. Yoh 10:33; mengorbankan anak:
Im 20:2; praktek jalangkungan & nini thowokan Im 20:27; melanggar hari
Sabat: Bil 15:32-36 dan beberapa kasus lain. Namun apakah ancaman hukuman
mati dengan rajam bisa divoniskan begitu saja dan sungguh dieksekusikan
adalah perkara lain. Pertama-tama boleh dicatat bahwa bagi orang Yahudi dari
zaman ke zaman hukum kasuistik ("bagi perkara X, hukumnya Y") dalam Taurat
lebih berfungsi sebagai sumber "berteologi" dan tidak diberlakukan begitu
saja sebagai pasal-pasal hukum KUHP. Mereka memiliki semacam KUHP yang rinci
yang dijabarkan dari Taurat, dan kemudian dikenal antara lain dengan nama
Misyna. Hukum-hukum yang ada di dalamnya perlu dipelajari dengan komentar
para yurist mereka. Di situ ada aturan-aturan rumit cara mempidana orang.
Ada peraturan yang tidak memudahkan orang bisa dikenai hukuman begitu saja.
(Misalnya hanya bila tertangkap basah, mesti ada lebih dari satu saksi,
dst.) Juga ada beberapa aturan pelaksanaan atau eksekusi dengan tenggang
waktu cukup lama agar memungkinkan pengampunan pada hari raya tertentu.
Dalam pelbagai masyarakat di pelbagai kebudayaan, ancaman atau sanksi
hukuman yang amat keras sering tidak dijalankan harfiah. Ini memiliki dampak
pada teologi. Nabi-nabi Perjanjian Lama dulu berbicara mengenai ketaksetiaan
Israel yang ipso facto mestinya mendatangkan kehancuran umat (=putusan
hukuman mati), tetapi belas kasihan Tuhan menyelamatkan umat dari kehancuran
total. Di Firdaus difirmankan, bila makan buah pengetahuan baik dan buruk
akan mati seketika. Tetapi Hawa dan suaminya tidak mati seketika walaupun
makan buah itu. Kesimpulan teologis yang bisa ditarik pembaca: Tuhan
berbelaskasihan sehingga hukuman yang ditetapkanNya sendiri diubahNya
menjadi "nasib" ular, wanita dan lelaki dan pengusiran dari Firdaus pada
akhir Kej 3. Tetapi, sebelum itu, perhatikan Kej 3:21, Tuhan yang baru saja
menjatuhkan firman kutukan tadi itu tiba-tiba berubah menjadi penuh
perhatian kembali kepada manusia. Ia membuatkan manusia dan istrinya pakaian
dari kulit binatang dan "mengenakannya kepada mereka", artinya, ia mengukur
persis persis bahu, dada, lengan, pinggul ke bawah, sehingga pakaian kulit
binatang itu tidak kedodoran.
TANYA: Ada yang pernah mendengar penjelasan sbb.: ".....batu yang dilempar
itu bukan batu besar, tapi batu kecil-kecil. Batu tersebut tidak ditujukan
ke badan/tubuh si wanita, melainkan dilempar ke depannya. Orang yang yang
melempar batu menyatakan setuju wanita itu harus dihukum mati dan dibawa ke
penguasa Romawi agar hukuyman disahkan. Jadi batu itu sebagai alat
menghitung (seperti voting)." Bagaimana pendapat Romo tentang tafsiran ini?
JAWAB: Tafsir itu akibat kerancuan degan praktek "membuang undi" dalam
meramal atau mengundi barang yang dadunya bisa dibayangkan besarnya seperti
kerikil...! Memang lembaga peradilan Yahudi pada zaman Yesus tak berhak
menjatuhkan hukuman mati. Bila menurut hukum mereka memang harus dikenai
pidana mati,maka perlu dibawa dan disahkan oleh penguasa Romawi (lihat juga
Yoh 18:31). Tidak dikenal praktek pungut suara di Bait Allah, kalau toh mau
dijajaki pendapat para tetua maka akan dilakukan di mahkamah, tidak di Bait
Allah.
Salam,
Widy
nice blog.
BalasHapus